Menjadi perantau tidaklah mudah. Sebab, kau harus melakukan segalanya sendiri. Bila kau ada masalah, kau hanya dapat bercerita dengan orang tuamu via telepon atau video call. Jika kau menangis, tidak ada yang mengelus rambutmu atau menghapus air matamu. Kau menghapus air matamu dengan tanganmu sendiri. Lalu kau memilih tidur untuk melupakan sejenak masalah yang selalu datang silih berganti.
Aku seorang mahasiswi di sebuah universitas di Yogyakarta. Yogyakarta ialah kota yang sangat damai, katanya. Yogyakarta ialah kota yang sangat indah, katanya. Namun untuk seorang perantau sepertiku, kota yang paling damai dan indah ialah kota darimana aku berasal. Di mana aku dapat menghabiskan waktu lebih banyak dengan orang tuaku, terlebih dengan lelaki yang sangat kucintai. Lelaki yang biasa ku panggil dengan Ayah.
Seorang perantau tentu sangat berkaitan dengan jarak. Aku termasuk orang yang biasa dengan jarak, karena sejak TK aku, ibuku, dan adikku sering ditinggal tugas keluar kota oleh Ayahku. Hal romantis yang masih melekat dalam memoriku hingga sangat ini ialah sebelum ayahku pergi ke luar kota, aku selalu ingin dicium keningnya oleh ayahku, dan ayahku selalu melakukannya. Selain itu, aku selalu menghitung hari kepulangan ayahku. Hingga ayahku sering berkata, “Sabar ya cantik,” saat ditelepon. Ya, aku selalu menanyakan ayahku karena aku sangat rindu akan pelukan hangatnya.
Rindu akan cerita-cerita inspiratifnya. Aku juga rindu bagaimana cara ia membangunkanku tidur, di mana ia selalu menggendongku hingga menuju kamar mandi. Aku memliki cara unik untuk mengatasi rasa rinduku. Ketika aku merindukan ayahku, aku selalu menuju ke lemari ayahku dan mencium baju-bajunya, hingga tak sadar bulir-bulir air mataku jatuh. Ya, sejak SD aku sudah melakukan hal tersebut.
Sejak SMA, aku sering ke luar kota sebagai delegasi dari sekolahku atau sekadar berlibur dengan teman-teman kelasku. Sehingga kupikir dengan keterbiasaan-keterbiasaan tersebut, memudahkanku untuk hidup mandiri di kota orang lain.
Awalnya, kupikir itu mudah. Melakukan apapun serba sendiri. Aku menikmatinya. Namun seiring waktu, laporan dan tugas kuliahku mulai beranak pinak, organisasi dan kegiatan mahasiswa mulai padat, sehingga separuh lebih waktu, kuhabiskan di luar kos. Entah itu kuliah, study club, ataupun berkegiatan baik intra maupun ekstra kampus. Ketika bulan atau bintang sudah menampakkan dirinya, di saat itulah aku pulang dari kampus. Sampai kos pun aku sudah sangat lelah. Penat rasanya. Terkadang mendapat oleh-oleh yaitu suatu permasalahan. Di mana aku harus mencari solusinya saat tiba di kos.
Di saat aku merasa buntu dan benar-benar tidak kuat, aku ingin sekali mencurahkan segalanya kepada orang tuaku, terutama ayahku. Ayahku ialah seorang yang sangat bijaksana dan pandai membuatku tenang. Namun, aku tak mampu, karena setiap aku mulai untuk menceritakannya, aku selalu terisak. Ya, aku menangis.
Menangis bukan karena tidak kuat akan masalahnya, tetapi menangis karena aku benar-benar merindukan sesosok yang sedang aku telpon disebrang pulau sana. “Kenapa sayang? Ada apa?” “Anak cantik kok diam?” Pertanyaan-pertanyaan ayahku yang seperti itulah yang sering membuatku membisu lalu menitikkan air mata. Aku rindu ayahku. Aku rindu keluargaku. Sungguh, ini ialah perasaan rinduku yang paling dalam yang pernah ku rasakan. Ingin kumemeluknya dan menceritakan semua masalahku, namun apalah dayaku? Yogyakarta dan Palangka Raya sangatlah jauh. Hingga aku tak dapat seenaknya pulang dan pergi.
Kini aku tersadar, merantau merupakan pilihanku dan harus kupertanggung jawabkan. Aku harus kuat menanggung segala risikonya. Aku yakin, ini merupakan proses yang akan membentukku. Menjadikanku lebih kuat, layaknya baja.
Walaupun kini aku selalu merindukan tangan hangat itu. Tangan yang setiap paginya diulurkan untuk membantu dan menggendongku saat bangun. Kini apalah dayaku. Tangan hangat itu perlahan mengeriput. Aku bisa membayangkannya. Kini tangan itu tak bisa kugapai dan kugenggam setiap waktu. Karena jarak yang memutuskannya.
Bahkan dengan berakhirnya kutulis cerita ini, air mataku tak kuasa membendung. Hingga jatuh dan tercecap oleh sudut bibir. Aku benar-benar membayangkan ayahku. Sesosok laki-laki terhebat yang pernah kukenal. Pahlawanku dan juga cinta pertamaku.
Ayah, aku merindukanmu.
Semoga kelak aku bisa membahagiakan dan membuatmu bangga.
Semoga kelak aku bisa membahagiakan dan membuatmu bangga.
No comments:
Post a Comment